Senin, 02 Maret 2009

The Death of Sukardal (Juli 19, 1986)

Sukardal, 53, tukang becak mati gantung diri, karena becaknya tgl 2 juli 1986 disita petugas tibum. Seorang dari sekian ratus ribu yang kehilangan mata pencarian di indonesia. ia mati tapi tidak membisu. SUKARDAL menggantung diri pada umurnya yang ke-53.

Tukang becak tua ini kehilangan becaknya, pada tanggal 2 Juli 1986 malam, di sebuah perempatan Kota Bandung. Para petugas Tibum, sesuai dengan peraturan dan perintah atasan, menyita becak itu.

“Kasihan,” kata sebagian orang. “Kok sampai begitu,” kata sebagian yang lain. “Tapi putus asa adalah dosa,” kata para pemberi petuah (dan iklan tabib). “Ekstrem,” kata seorang pejabat. “Barangkali ada pihak ketiga,” kata pejabat lain.

Sukardal mungkin tidak tahu siapa pihak ketiga, siapa pihak pertama, siapa pihak kedua. Ia telah mencoba berebut mempertahankan becaknya dari sitaan petugas. Ia telah diseret ke arah parit. Ia telah menendang. Ia telah diseret lagi dan dinaikkan ke mobil. Ia telah berontak dan berhasil turun dari mobil.

Tapi ia melihat becaknya telah diangkut truk, ia melihat sumber hidupnya terbang, maka ia kembali meloncat ke arah mobil Tibum yang berjalan. Ia menggandul pada mobil itu, dan berteriak-teriak, “Saya mau bunuh diri …. Saya mau bunuh diri ….”

Dan benar: Sukardal kemudian menggantung diri, di sebuah pohon tanjung, di depan sebuah rumah di Jalan Ternate.

“Kasihan,” kata sebagian orang. “Kok sampai begitu,” kata sebagian yang lain. “Tapi kami hanya menjalankan tugas,” kata para petugas Tibum. “Dan pers jangan membesar-besarkan perkara ini,” kata seorang pejabat.

Apa yang besar sebenarnya? Apa yang kecil? Satu dari 18.000 becak di Kota Bandung adalah soal kecil. Seorang dari sekian ratus ribu orang yang kehilangan mata pencaharian di Indonesia kini adalah soal kecil. Lagi pula, pada saat satu Sukardal mati, di sebuah sudut, satu genius yang sama hebat dengan Habibie mungkin baru lahir di sudut tanah air yang lain. Penderitaan manusia adalah ombak yang tak bisa dielakkan dari sejarah sebuah bangsa….

Penderitaan manusia?

Beberapa saat sebelum mati, Sukardal menulis sepucuk surat wasiat. Ia bicara kepada anaknya yang sulung: “Yani, adikmu kirimkan ke Jawa, Bapak sudah tidak sanggup hidup. Mayatku supaya dikuburkan di sisi emakmu.” Dan Yani, 22 tahun, yang bersama tiga adiknya yang kecil-kecil tinggal di sebuah bilik 4 x 4 m (yang disewa), tak sanggup. Wasiat itu terlalu berat. Mengirimkan jenazah ke Majalengka dari Bandung, bagi mereka, bukan perkara kecil.

Apa yang kecil sebenarnya? Apa yang besar?

Seorang bapak yang selama ini sendirian merawat anak-anaknya, dan jarang marah, adalah sesuatu yang besar bagi anak-anak itu. Sebuah becak yang seharga Rp 50 ribu, dan baru saja lunas dicicil, adalah sesuatu yang besar bagi keluarga itu.

Satu setengah meter dari pohon tempat Sukardal mati, ada tembok. Di sana tertulis (kemudian dihapus oleh petugas kepolisian): “Saya gantung diri karena becak saya dibawa anjing Tibum”.

Becak saya, kata Sukardal. Ada kebanggaan memiliki. Ada rasa marah karena sebuah hak direbut. Ada makian: huruf-huruf itu memprotes dan sekaligus putus asa. Dengan kata lain, sebuah perkara besar, karena ia justru terbit pada seorang yang begitu kecil.

Orang yang kecil adalah orang yang memprotes dengan keyakinan tipis bahwa protes itu akan didengar, dan karena itu teriaknya sampai ke liang lahad.

Seperti sebuah sajak, ditulis oleh seorang penduduk Chichibu, di sebelah barat Tokyo, ketika Jepang belum lagi kaya di akhir abad lalu, setelah petani-petani miskin mencoba berontak di tahun 1884 dan kalah dan terkubur:

Angin bertiup
Hujan jatuh
Anak-anak muda mati.
Keluh kemiskinan
Berkibar seperti bendera . . .
Kata di nisan kami,
Yang tertimbun badai salju 1884,
Tak nampak oleh yang berkuasa
Maka di saat-saat begini
Kami harus menjerit setinggi-tingginya.

Sukardal juga sebenarnya mencoba menjerit tinggi-tinggi. “Kalau betul-betul negara hukum, Tibum harus diusut,” tulis tukang becak itu sebelum mati, pada tembok. Dia bilang, kalau betul-betul. Dia tidak bilang, karena ini negara hukum….

Sukardal meminta, dengan leher terjirat dan nyawa melesat, dan itu berarti dengan keras — karena ia sesungguhnya tidak begitu yakin.

Bagaimana ia bisa yakin? Ia pasti tahu ia bukan termasuk mereka yang bisa menang. Ia bahkan mungkin tak termasuk mereka yang pernah menang. Orang kecil adalah orang yang, pada akhirnya, terlalu sering kalah. Sukardal telah lewat setengah abad: sudah teramat tua untuk memilih kehidupan lain, terlampau tua untuk berontak. Tapi ia, yang tamat sekolah menengah, yang datang dari sebuah kampung di Yogya dan berdagang kecil di Jakarta, toh masih merasa perlu menuliskan pesannya. Ia mati, dan ia tidak membisu. Dan hidup kita, kata seorang arif bijaksana, terbuat dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu.

~Majalah Tempo, Edisi. 21/XIIIIII/19 - 25 Juli 1986~

Protes (Desember 7, 1985)

DI daerah pesisir utara Jawa Tengah yang datar dan berdebu, di pertengahan abad ke-19, seseorang menulis sejumlah buku. Ia adalah Haji Mohamad Rifangi.

Waktu itu usianya pasti sudah agak lanjut. Ia dilahirkan pada1786 di wilayah Kendal, beberapa puluh kilometer dari Semarang. Ia juga pasti orang yang berilmu dan berpengikut. Ia anak seorang pengulu, dan itu berarti bukan seorang santri kampung sembarangan. Pada satu tahap dalam riwayatnya, ia berangkat ke Mekkah, dan bermukim selama delapan tahun. Setelah itu, ia kembali, ke tempat ia dilahirkan. Tapi sikapnya berubah.

Ia bentrok dengan para ulama. Baginya, kehidupan beragama sebagaimana yang dilihatnya di sekitarnya itu keliru. Dan ia mengutarakan soal itu dengan keras. Mungkin karena ini, ia sempat difitnah dan masuk penjara. Tapi Rifangi punya nasib baik: setelah istrinya meninggal, ia menikah dengan janda demang yang makmur. Lepas dari penjara, Rifangi pun pindah ke Kalisalak, mendirikan pusat pengajian dan menulis sejumlah buku.

Sebagaimana yang diceritakan kembali oleh Prof. Sartono Kartodirdjo dalam bukunya, Protest Movements in Rural Java, Rifangi sebenarnya tak mengumumkan ajaran baru. Karya-karyanya, yang kumpulannya disebut Tarajumah, sejenis bunga rampai terjemahan dari pelbagai kitab. Hanya Haji Mohamad Rifangi menyusunnya dalam bentuk tembang berbahasa Jawa.

Toh bunga rampai itu ia pilih dengan kecaman kepada keadaan di sekitar. Para penguasa negeri, di mata Rifangi, berdosa. Para pengulu, pejabat keagamaan resmi, tak mau menuruti perintah menegakkan hukum Allah. Banyak hal menyimpang dari Quran dan Hadis. Maka, orang harus sadar: para bupati dan wedana dan lurah itu tak lain cuma orang-orang munafik. Siapa yang menghamba kepada “raja kafir” dalam hal agama, tak lebih baik ketimbang anjing dan babi.

Sebagaimana umumnya para “reformis”, ada sikap kesucian yang memusuhi praktis siapa saja dalam pendirian Rifangi. Ia memang ingin membawakan suatu kehidupan beragama yang tak tercampur dengan noktah apa pun dari luar doktrin. Tak heran bila Rifangi pun menentang hal-hal seperti wayang dan gamelan.

Kita agaknya kenal dengan tipe ini. Dalam riwayat, pelbagai versi Rifanglisme datang dan pergi: perawat-perawat yang gigih yang mencoba mensterilkan ruang sejarah ketika mengarungi waktu. Dalam proses masuk ke luar debu dan lumpur ini, dalam kendaraan yang terguncang-guncang, tiap kita diharapkan tetap murni, bersih. Untuk itu surga menunggu. Juga keselamatan di dunia. Dalam Kitab Nalam Wikayah, salah satu karyanya, Haji Mohamad Rifangi menggambarkan hal itu: sebuah “Tanah Jawa” yang makmur, tanpa begal dan penyamun, pencuri dan pendurhaka.

Tak ayal, para pengikut berkerumun disekitar kiai Kalisalak. Pertengahan abad ke-19 dan seterusnya, Jawa memang resah. Masa kolonial telah mempertemukan kakek-nenek kita itu dengan lingkungan budaya yang telah retak batas-batasnya. Ada kekuatan yang asing, ada kekuasaan yang terasa menekan dan tak akrab. Ada orientasi yang berubah, ada bentuk-bentuk kebahagiaan baru yang tak mudah dicapai atau mencemaskan. Ada frustrasi, ada penasaran. Ada kebutuhan akan ketenteraman batin, sejenis kepastian dan jaminan, di tengah perubahan sosial-budaya yang tak tenteram.

Tak heran bila abad ke-19 dan sesudahnya adalah zaman konflik, dan karya seperti Protest Movements in Rural Java selalu layak dibaca kembali bila konflik sejenis itu, yang sering kali memakai bendera Islam, meletup.

Haji Rifangi adalah salah satu gejalanya. Dimakmumi oleh para penduduk pedesaan Kedu dan Pekalongan, ia dengan segera dikenal sebagai pemimpin ngelmu Kalisalak. Para santrinya, disebut santri Budiah, memisahkan diri dari Muslimin lain. Mereka bukan saja tak menonton wayang juga tak mau bersembahyang jemaah di masjid, dan - menurut laporan Residen Pekalongan - mereka menolak kawin di depan penghulu. Para wanita mereka tak keluar ke tempat umum dan di luar kalangan mereka, tampaknya yang ada hanya kaum yang sesat.

Haji Mohamad Rifangi memang gencar menyerang - khususnya para pejabat keagamaan gubernemen. Tak heran bila Rifangi beberapa kali diusulkan, antara lain oleh Bupati Batang, untuk disingkirkan. Dan benar: di tahun 1859, pengusik itu dibuang ke Ambon. Ia mungkin dianggap suatu ancaman yang bisa mengganggu ketertiban - meskipun Rifangi tak pernah angkat golok, dan tak suatu pun terjadi ketika pengikutnya tetap jadi santri Budiah setelah sang guru tak ada.

Rifangi memang bukan pemberontak. Ia hanya pemimpin suatu gerakan “sektarian”, seperti dikatakan Sejarawan Sartono, tokoh kelompok yang memisahkan diri, seorang yang merasa paling di depan dalam menjaga kemurnian agama. Ia layak dihormati. Tapi tak berarti ia bisa selamanya diikuti.

Dalam Protest Movements in Rural Java, ada disebut suatu “saat dramatik” ketika Rifangi berdebat, di depan umum, tentang agama, dengan seorang penghulu. Ia “kalah”. Kita tak tahu bagaimana isi debat besar itu, dan bagaimana ia kalah. Tapi siapa tahu sang penghulu bisa meyakinkan kekhilafannya: Iman lebih kaya ketimbang kemurnian. Iman adalah bianglala yang semarak. Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.

~Majalah Tempo Edisi. 41/XV/07 - 13 Desember 1985~

Padri (Desember 1, 1984)

PERANG Padri tak dimulai dari titik nol. Sewaktu saya kecil, yang saya baca hanyalah cerita tentang Imam Bonjol yang melawan para pendukung adat yang dibela Belanda. Setelah mulai tua, saya baca kisah tentang Tuanku Nan Rinceh, yang kurus tapi dengan matamenyala bagai api.

Ia muncul dalam arena konflik sosial yang melanda Minangkabau sejak awal abad ke 19. Ia muncul dan ia mengagetkan.

Di daerahnya di Bukit Kamang yang tinggi, ia memaklumkan jihadnya seperti pedang berkilat. Merasa ia harus memberi contoh bagaimana ajaran agama mesti ditaati tanpa ditawar, konon ia membunuh saudara ibu kandungnya. Wanita itu seorang pengunyah tembakau.

Masyarakat yang ingin ditegakkan Tuanku Nan Rinceh memang masyarakat yang ideal: tak ada orang menyabung ayam, minum tuak, atau mengisap candu. Tak ada orang memakan sirih. Pakaian putih-putih haru dikenakan, dan kaum pria haru mengikuti Nabi: membiarkan diri berjanggut. Wanita haru bertutup muka, tak boleh memakai perhiasan. Kain sutera harus dijauhi. Syariat Islam harus dijalankan, dan siapa yang tak taat dihukum.

Memang, ada pengaruh gerakan Wahhabi, yang waktu itu sedang naik pasang di sekitar Mekkah, dalam semangat Tuanku Nan Rinceh itu. Lurus, sederhana, menuntut sikap yang serba murni. Tapi zaman tampaknya menghendaki semangat yang lempang dan puritan. Tuanku Nan Rinceh, mungkin “ekstrem”, bukan fenomena yang tersendiri.

Tak berarti ada persekongkolan di manamana. Sejarah umat Islam adalah sejarah tentang perbedaan-perbedaan, dan kita bisa sesat bila tak memandangnya secara demikian. Gerakan “pemurnian” di Bukit Kamang itu toh akhirnya bentrok dengan gerakan Islam di tempat lain. Khususnya dengan seruan “kembali ke syariat” yang sejak akhir 1700 dibawakan oleh Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah Agam.

Sengketa itu sengit. Setelah gagal mempertemukan pendapat dalam suatu pertemuan, Tuanku Nan Rinceh pun menarik garis Orang alim tua dari surau tarikat Syattariyah itu, Tuanku Nan Tua, yang mengutip pelbagai ayat Quran untuk menunjukkan bahwa Nabi pada dasarnya mengenggani kekerasan, kemudian dicemooh sebagai “Rahib Tua”. Muridnya, Jalaluddin, yang mendirikan dusun Muslim di Kota Lawas, dijuluki “Raja Kafir”. Lalu perang pun pecah selama enam tahun.

Apa gerangan penyebabnya? Tahun lalu terbit sebuah hasil penelitian sejarah Sumatera Barat oleh Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, sebuah studi tentang masa riuh 1784-1847. Seperti 1mpk dari judulnya, Dobbin mencoba menunjukkan maraknya api keagamaan di Minangkabau itu sebagai jawaban sosial atas perubahan ekonomi yang terjadi, ketika perdagangan kopi untuk ekspor sedang menunggu.

Ketika itulah orang-orang Minang, terutama dari daerah pebukitan, tempat kopi tumbuh mudah, menemukan dunia baru. Mereka hidup dari suatu proses jual-beli, yang jaringannya lebih luas ketimbang dusun sendiri - suatu jarimgan yang tentu saja impersonal. Adat setempat yang mengatur hubungan-hubungan lokal karena itu tak lagi memadai.

Tak mengherankan bila para penghulu, yang lazim memecahkan sengketa sosial dengan memakai pedoman aturan setempat, jadi repot. Dalam keadaan sedemikian, ketika hukum tak lagi cukup, sementara perkara yang harus dihakimi bertambah rumit dan banyak, surau pun tampil sebagai alternatif. Hukum Islam, yang diturunkan di Mekkah di Dsuatu masyarakat pedagang, memang memungkinkan itu: la tidak asing dengan kasus-kasus yang muncul setelah kegiatan komersial berkembang cepat.

Tuanku Nan Tua sendiri bahkan ikut aktif dalam kegiatan itu - dan sukses. Suraunyapun giat menyerukan agar orang berpegang hukum Islam dalam menyelesaikan soal-soal perniagaan. Tak ayal, syekh dari surau Syattariyah ini pun dianggap pelindung para pedagang.

Tapi dalam keadaan yang lebih makmur itu pula orang berkesempatan berfoya-foya. Hampir di tiap pasar orang mendirikan gelanggang sabung ayam, sementara tuak dan candu dengan leluasa diedarkan. Semua tingkah ini jadi tambah mencolok buruknya bagi orang ramai, ketika semangat pedagang hemat, bersahaja, ulet) tengah berblak. Maka, terhadap kemaksiatan inilah surau-surau angkat suara - dan akhirnya angkat senjata.

Kaum Padri, juga Tuanku Nan Rinceh, pada dasarnya meneruskan semangat itu. Dan dalam banyak hal mereka berhasil. Desa yang dibangun Haji Miskin pada tahun 1811, misalnya, di Air Terbit, di lereng Gunung Sago, adalah contoh desa yang teratur serta makmur. Bahkan orang Belanda juga mengakui hal itu.

Namun, sayang, tak sepenuhnya masyarakat ideal yang dikehendaki bisa bertahan. Kaum Padri sendiri berubah. Di Pandai Sikat orang-orang desa mulai kembali makan sirih dan merokok, pakaian wanita tak jadi setertutup dahulu. Adat setempat tak begitu saja hilang, dan seperti halnya pihak lain, seperti halnya manusia sepanjang sejarah, kaum Padri pun akhirnya menerima kompromi. Kemurnian barangkali memang tak ditakdirkan untuk dunia yang tak kekal, tak tunggal, ini.

~Majalah Tempo Edisi. 40/XIV/01 - 7 Desember 1984~